1. Makna
Leksikal dan Makna Gramantikal
Leksikal adalah
bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (Vokabuler, kosa
kata , perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan
bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan
demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon,
bersifat leksem, atau bersifat kata. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tanpak jelas dalam
kalimat tikus itu mati diterkam kucing,
atau dalam kalimat panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas
merujuk pada binatang tikus, bukan kepada yang lain.
Apakah semua kata dalam bahasa Indonesia bermakna
leksikal? Tentu saja tidak. Kata-kata yang makna gramatikal disebut kata penuh
(full word) seperti kata meja, tidur, dan cantik memang
memiliki makna leksikal, tetapi yang disebut kata tugas (function word) seperti kata dan,
dalam, dan karena tidak memiliki
makna leksikal. Dalam gramatikal kata-kata tersebut dianggap hanya memiliki
tugas gramatikal.
Makna lesikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan
dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem
atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatika ini adalah makna
yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi,
proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter-pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan
makna ‘dapat’ dan dalam kalimat ketika
balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ‘tidak sengaja’.
Penyimpangan makna dan bentuk-bentuk gramatikal yang sama
lazim juga terjadi dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa indonesia , misalnya, bentuk-bentuk kesedihan, ketekutan, kegembi-raan dan kesenamgan memiliki makna gramatikal
yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasarnya.
Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa
Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna gramatikal komposisi sate ayam tdak sama dengan komposisi sate Madura. Yang pertama menyatakan
‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan ‘asal tempat’. Begitu juga komposisi
anak asuh tidak sama maknanya dengan komposisi orang tua asuh. Yang pertama
brmakna ‘anak yang diasuh’ sedangkan yang kedua bermakna ‘orang tua yang mengasuh’.
2. Makna
Referensi dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial
berdasarkan ada todaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu
mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu maka
kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.
Kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti yang
sudah disebutkan dimuka, adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial;
dan yang termasuk ke dalam kelas kata
tugas seperti preposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata yang
bermakna nonreferensial.
Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi,
juga kata tugas lainnya tidak mempunyai referen maka banyak orang menyatakan
kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya memiliki
fungsi atau tugas. Lalu, karena memiliki fungsi atau tugas maka dinamailah
kata-kata tersebut dengan nama kata fungsi atau kata tugas. Sebenarnya
kata-kata ini juga mempunyai makna; hanya tidak mempunyai referen. Hal ini
jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna
nonreferensial. Mempunyai makna, tetapi tidak memiliki referen.
Kata-kata yang referennya tidak tetap. Dapat berpindah
dari satu rujukan kepada rujukan yang lain, atau juga dapat berubah ukurannya.
Kata-kata yang seperti ini disebut kata-kata deiktis.
3. Makna
Denotatif dan Konotatif
Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada
ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata. Setiap kata, terutama
disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu
mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai
“nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka
dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi
netral.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional,
makna koseptual, atau makna kognitif karna dilihat dari sudut yang lain) pada
dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalam lainnya. Jadi,
makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu
karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya.
Dua buah kata atau lebih yang makna denotasinya sama
dapat menjadi bebeda “makna keseluruhannya” akibat pandangan masyarakat
berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam masyarakat
itu. Kata-kata tersebut mendapat “makna-makna tambahan” yang tidak sama atau
berbeda dari masyarakat pemakai bahasa itu. Ketidaksamaan makna tambahan yang
diberikan bisa terjadi sebagai akibat peristiwa sejarah atau juga adanya
pembedaan fungsi sosial kata tersebut.
Denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli,
atau makna pusat; dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan
makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebutkan makna denotasi
rasanya tidak menjadi persoalan; tapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut
makna konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya tambahan yang sifatnya
memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali
juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah
perlambangan. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan
bernilai rasa positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif
akan bernilai rasa negatif.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu
kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai
dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi
negatif karena berarti ‘cerewet’,
tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum
zaman jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia
untuk selalu memperhalus pemakaian bahasa. Karena itu diusahakan membentuk kata
atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap berkonotasi
negatif. Maka dalam bahasa indonesia muncullah kata tuna netra untuk menggantikan buta; tuna wicara untuk mengganti bisu; tuna wisma untuk menggantikan
pelayanan (toko); prawisma untuk menggantikan pembantu rumah tangga; buang
air atau kebelakang untuk
menggantikan kencing atau berak; dan mantan untuk mengganti bekas
atau eks.
4. Makna
Kata dan Makna Istilah
Perbedaan makna kata dan makna istilah berdasarkan
ketetapan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus.
Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara
tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus,
dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga
maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah
tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum.
Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat.
Lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi kabur. Misalnya kata
tahanan. Apa makna kata tahanan? Mungkin
saja yang dimaksud dengan tahanan itu adalah ‘orang yang ditahan’ tetapi bisa
juga ‘hasil perbuatan menahan’ atau mungkin makna yang lainnya lagi.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum,
maka istilah memiliki makna yang tepat dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna
istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau
keilmuan tertentu. Jadi tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah
pasti. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk
menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu.
5. Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya,
makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau
hubungan apa pun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna
referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata
itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya kata melati berasosiasi dengan
makna ‘berani’, atau juga’dengan golongan komunis’; kata cendrawasih
berasosiasi dengan makna ‘indah’. Maka asosiasi ini sesungguhnya sama dengan
perlambangan-perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan suatu konsep lain.
6. Makna
Idiomatikal dan Pribahasa
Sebelum mengetahu
makna idiomatikal, kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom.
Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat)
yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya
maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Umpamanya, menurut kaidah
gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan
memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Tetapi kata kemaluan tidak
memiliki makna seperti itu.
Idiom
terbagi dua macam dalam bahasa Indonesia yaitu: Idiom penuh dan idiom
sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan
sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedang pada idiom sebagian masih ada unsur yang
memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti ‘daftar
yang berisi nama-nama orang yang dicurigai /dianggap bermasalah’.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa makna idiomatik adalah makna sebuan satuan bahasa
(entah kata, frase, atau kaliamat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau
makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah
kata (frase atau kalimat0 tidak ada jalan selain mencarinya di dalam kamus.
Idiom
dilihat dari segi makna, “menyimpangnya” makna idiom ini dari makna leksikal
dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari ekspresi kebahasaan, yaitu dalam jusaha
penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk
satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan paling kena. Sedangkan metafora dilihat dari segi digunakannya
sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari yang lain umpamanya matahari
dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja
siang, bulan dikatakan sebagai putri
malam, dan pahlawan sebagai bunga
bangsa. Jika dilihat dari segi makna, maka
raja siang, putri malam, dan bunga
bangsa adalah termasuk contoh idiom. Jika dilihat dari ekspresi maka
ketiganya juga termasuk contoh ungkapan; dan jika dilihat dari segi adanya
perbandingan maka ketiganya juga termasuk metafora.
Peribahasa bersifat perbandingan atau pengumpamakan maka
lazim juga disebut dengan makna
perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai,
bak, laksana dan umpama lazim
digunakan dalam peribahasa. Memang banyak juga peribahasa yang tanpa
menggunakan kata-kata tersebut, namun kesan peribahasa itu tetap saja tampak.
Misalnya Tong kosong nyaring bunyinya.
Peribahasa tersebut bermakna ‘orang yang tiada berilmu itu diperbandingkan
dengan tong kosong. Hanya tong yang berisi penuh tentu tiada akan berbunyi
nyaring. Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam,
merunduk dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang
berbunyi Bagai padi, semakin berisi,
semakin runduk.
7. Makna
kias
dalam
kehidupan sehari-hari dan juga dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah
kiasan. Tanpaknya penggunaan istilah arti kiasan. Tampaknya pengguanaan istilah
arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu semua
bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti
sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut
mempunyai arti kiasan.
8. Makna
Lokusi,Ilokusi, dan Perlokusi
Dalam
kajian tindak tutur dikenal adanya makna lokusi, ilokusi, perlokusi. Yang
dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran,
makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna
ilokusi adalah makna seperti dipahami oleh pendengar. Sebaliknya yang dimaksud
dengan makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,Abdul.2009.Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia.Jakarta:Rineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar